CHAPTER TWO (MANTAN ZEUS)


Chapter. 2
|| Tak Sekuat Itu

Juna duduk diam di sebelah ranjang Iva sembari memainkan game di ponsel. Meskipun tampak pokus menikmati permainan, faktanya entah kali ke berapa ia melirik ke arah wajah gadis itu. Terbaring damai ditutupi sebuah selimut putih dengan mata terpejam. 

Akibat sering mengalihkan pandangan, ia jadi kehilangan pokusnya. Bibirnya berdecak tatkala kalimat you lose  terpampang di layar. Ia pun menaruh kembali ponsel miliknya ke dalam saku.

Sebenarnya Juna cemas. Gara-gara ia tak menangkap badan Iva yang terpental itu, Iva jadi berakhir pingsan. Mau bagaimana lagi, bukan mukhrim, bro. Canda, sebenarnya itu hanya refleknya saja yang malah menghindar alih-alih membantu. Akibatnya, kepala batu Iva harus membentur lantai. 

"Nih, anak gak lagi koma 'kan?" gumamnya. 

Andai oknum di depannya ini mendengar ucapannya, mungkin pukulan bertubi-tubi akan melayang pada Juna.

Melihat kondisi Iva yang tidur kelewat damai, Juna jadi suudzon kalau cewek ini jiwanya lagi keliling dulu. Untung nadi-nya alhamdulilah masih berdetak. Coba kalo beneran berhenti, Juna gak sanggup kalau di tiap menit hidupnya digentayangi Iva.

Bayangin aja, pas dia mau ke wc tiba-tiba didatengin Iva cuma buat main ciluk ba atau diminta gantiin daster putih dekilnya.

Baru dibayangkan saja Juna sudah bergidik ngeri.

Tidak, bisa-bisanya dia mikir sampai sejauh itu. Gara-gara anak PMR juga, sih,  kayaknya pada sengaja banget ninggalin dia sendiri bareng Iva. Alesannya, sih mau cari roti buat cewek itu pas sadar nanti. Tapi mana ada orang beli roti sampe sejam di saat kantin cuma berjarak beberapa puluh meter dari UKS. 

Mau dia tinggal, gak mungkin. Juna memegang teguh prinsip bertanggung jawab yang Raharja ajarkan. 

Belum lagi bayangan murka om Tio kalau sampai tau anaknya kenapa-napa. Bisa disunat dua kali dia.

Di saat otaknya sibuk berkelana, tiba-tiba Juna dibuat kaget ketika mendengar suara lenguhan dari Iva. Dengan gerakan cepat ia membantu Iva yang kesusahan untuk bangun. Kemudian setelahnya memberikan segelas air teh tawar hangat yang sudah dipersiapkan. Hal itu ternyata disambut baik oleh Iva, dengan cara langsung meminumnya.

"Masih pusing?" tanya Juna.

Tampak Iva mengangguk sambil sesekali memegangi bagian kepalanya. Rasanya lumayan sakit, apalagi keningnya terasa memar. 

Awalnya ia baik-baik saja, sebelum akhirnya sadar, dengan siapa kini ia berada.

"Lo?!"

Juna terperanjat kaget bukan main. Kali ini apalagi, beruntung dia tak punya riwayat penyakit jantung. Hanya saja, gara-gara Iva yang seenak dengkul berteriak ke arahnya, membuat ia nyaris terjengkang. Gila, orang pingsan mana yang langsung dapet tenaga buat sekedar teriak.

"Kenapa gua?" Juna bertanya karena Iva tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Parno dia itu, bukannya ngomong malah melototin dia kek lagi ketemu pelakor. 

"Gak jadi," jawab Iva jutek.

Lah?

Sumpah, nggak habis thinking Juna 'tuh. Dia jadi curiga, gara-gara kepentok ubin, otaknya ikutan ngegelinding.

"Terus ngapain lo di sini?" tanya Iva sarkas. 

Sebenarnya Iva hendak protes, karena akibat Juna yang 'ogah' membantunya, ia harus terbaring tepar tadi. Tapi diurungkannya niat tersebut. Mengingat sifat narsis Juna yang nyerempet ujub, membuat ia berpikir dua kali. Bukannya melampiaskan kekesalan, malah dapat godaan. Pasti pemuda itu akan berpikir kalau Iva sangat ingin merasakan pelukannya.

Kan kambing!

Lain hal lagi dengan ekspresi Juna sekarang. Wajahnya sepet bukan main mirip mangga mentah. Dalam pikirannya, ia mencoba mengingat-ingat, rasanya Iva tak pernah berbicara lembut ke dia. Enggak di kelas, enggak di luar, sama aja. Judes, galak, sarkas, plus ngegas. 

Seratus persen jelmaan tabung gas!

Kadang ia bingung, apa salahnya? Cape-cape menunggu sejam, yang di dapat malah pemicu baku hantam. Juna juga manusia biasa, yang kadang khilaf sampe nonjok orang.

"Malah bengong, orang nanya 'tuh dijawab," dumel Iva masih dengan tatapannya yang menurut Juna minta dico1ok.

Juna menjawab, "mikir, dong yang bawa badan bocil lo emang siapa lagi?"

"Gak usah ngatain gue bocil, Lo-nya aja yang maruk di bagian pertumbuhan sampe tinggi kayak Titan!" omel Ivanka ngegas.

"Ini mata Lu yang picek atau Lu-nya aja yang gengsi ngakuinnya? Ganteng mirip Shawn Mendes gini lu kata Titan? Wah, ngajak ribut."

"Gak usah ngaku-ngaku mirip Shawn di saat otak Lo lebih dominan Sawan. Fakta, kok udah jelek, nyebelin lagi kayak kutil anoa."

"Astagfirullah ... debat sama lo bikin body shaming!"

"Si Dodo sama si Mamat."

"Cakep!"

"Makasih."

"Si anj---"

Perdebatan mereka terhenti saat anggota PMR datang memasuki ruangan. Seketika Juna mengucap beribu syukur, bahkan ia nyaris sujud tatkala melihat keberadaan mereka. Kini ia tak perlu lagi mengorbankan sisa stok kesabarannya untuk meladeni Iva. Untuk itu, dengan cepat ia segera pamit ke kelas.

"Urusin, noh bayi kukang, sekalian kasih makan batako yang banyak," kata Juna sambil ngacir.

"Lo kalo mau ngajak baku hantam bilang, Juned!" teriak Iva dengan suara 12 oktaf.

Seketika orang-orang yang ada di ruang UKS pun menutup masing-masing telinga. Gila, teriakannya melebihi sound system orang hajatan.

Namun percuma Iva berteriak demikian, Juna telah menghilang dari pandangan. Meninggalkan kebingungan sekaligus heran dari anak-anak PMR yang baru datang. Cukup mengejutkan, mengingat karakter Juna lebih sering terlihat bijak dibanding ngebac0tin orang.

Iva mencoba buat bodo amat. Walaupun sedikit kesal karena Juna mengatainya bayi kukang. 

Dengan lahap ia mulai mengunyah roti pemberian anggota PMR tersebut dengan nikmat. Ditemani segelas teh tawar hangat, maka lengkap sudah kebahagiaannya. Entah ke mana rasa pusingnya tadi, karena yang jelas, perutnya sangat keroncongan sekarang. Yah, meskipun kurang menyukai selai nanas, seenggaknya ini bisa menjadi camilannya selagi menunggu bel pulang berbunyi. 

***

"Kenapa lo gak bolos aja, sih? Sekali aja gitu."

Tak!

Kepada saudari Liqueena Syafikha alias Lily, kepingin banget Iva teriak sekencang mungkin buat nanya, punya dendam apa, sih? Ini masalahnya dalam sehari udah dua kali kepalanya kena hantam. Mending kalo pelan-pelan penuh kasih sayang. Lah, ini kenceng banget kayak punya dendam kesumat. Sakit hati Iva 'tuh, gimana kalo nanti dia beneran jadi be9o?

Tadinya ia berencana pergi ke cafe buat hangeout bareng Lily. Eh, Iva lupa kalau setiap hari Selasa ada ekskul paskibra yang enggak mungkin Lily tinggalin.

"Dan buat gue dihukum lima puluh kali push-up? Gak, deh makasih," sahut Lily ketus.

Bukan rahasia umum lagi kalau paskibra dikenal dengan kedisiplinannya yang tinggi bukan. Seperti kata Lily tadi, jika ada salah satu anggota yang membolos latihan, hukumannya adalah push-up sebanyak lima puluh kali. Itu bukan hanya isapan jempol belaka. Pernah sekali, salah satu anggota ada yang absen tanpa keterangan. Tentu saja para senior dengan senang hati memberinya teguran, sekaligus hukuman. 

Tak sedikit dari mereka yang juga aktif di organisasi lain, bahkan berprestasi. Karena bukan hanya fisik yang dituntut, tapi juga kemampuan otak dalam berpikir.

Contohnya Lily. Mungkin dia dikenal agak badung karena sesekali membolos pelajaran bersama Iva. Tapi jangan salah, otaknya encer walaupun begitu. Terbukti dengan peringkat kelima yang didapatnya pada semester kemarin. Setidaknya itu lebih baik dibanding Iva yang mendapat peringkat dua digit terbawah.

Iva menghela nafasnya pasrah. Mau bagaimana lagi, ia tak mungkin pulang sendiri. Papanya tak bisa menjemput, naik ojol males, naik bis apalagi. Terpaksa ia harus menunggu Lily selesai ekskul.

Mana pulangnya sore lagi, mantep, gak 'tuh?

"Masih aja lo temenan sama, nih cewek."

Dengan cepat Iva dan Lily menoleh. Dapat mereka lihat, seorang siswi mengenakan pakaian olahraga tengah berdiri menatap keduanya, lengkap dengan sebuah handuk kecil tersampir di pundak. Tatapannya jauh dari kata bersahabat, belum lagi senyuman miring yang dirinya tunjukan.

Menyebalkan. Satu kata yang Iva deskripsikan tentang perempuan itu.

Iva menatap balik tak suka. Terserah Lily, dong mau temenan sama siapa aja termasuk dia. Kira-kira begitulah pemikirannya.

"Napa lo? Iri? Gak punya temen?" semprot Iva galak.

"Gak 'tuh gue cuma kasian aja sama Lily. Lo gak pernah mikir apa, kelakuan buruk lo berefek ke dia?"

"Berefek gimana?"

Perempuan berambut curly itu tertawa. Mengundang tatapan bingung dari Iva. 

Sinting.

"Sadar, Ivanka lo bukan murid baik-baik. Lo punya mata 'kan? Tapi lo gak pernah liat apa, gimana tanggapan orang-orang sama sahabat lo itu? Buruk," katanya diakhiri dengan senyuman miring. 

Bohong kalau Iva tak terpancing emosi. Bagaimana cara gadis di depannya ini bicara, sampai merendahkan dirinya, sudah lebih dari cukup untuk membuat kemarahannya meluap. Apalagi tawanya itu, rasanya ingin Iva jejeli mercon sepuluh bungkus. 

Entah punya masalah apa siswi tersebut padanya, karena yang jelas, Iva tak pernah mendapar sambutan damai sedikitpun. Bahkan di awal pertemuan mereka. Moza Rifa Meliarissa, setidaknya itulah yang Iva ketahui tentang siswi ini.

Iva tertawa remeh. "Lo punya masalah apa sama gua, hah?!"

#2 next chapter three

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanggapi Segalanya: Kelelahan, Ekspektasi, dan Pencarian Keseimbangan dalam Hidup Modern

Menyaksikan Kehilangan dalam Kebersamaan, Perjalanan Menuju Kebahagiaan yang Terpisah

Secercah Cinta di TOT UKM-F RISET 2024