Cerpen Tentang Manajemen Waktu
WAKTU ADALAH EMAS, EMAS ADALAH WAKTUMU YANG BERHARGA
Waktu adalah kekasih. Tapi itu sebelum aku memiliki Dia. Dia yang mulanya hadir membawa warna, namun perlahan pergi layaknya purnama.
Dibawah semunya senja diatas bukit yang tinggi, seorang gadis menangkap panorama alam menggunakan camera canon yang mengalung dilehernya. Mungkin dia adalah gadis petualang atau seorang jurnalis, entahlah. Dia memotret indahnya percikan jingga yang jatuh dan mengguyur bebatuan diatas bukit. t-shirt kuning yang dimasukkan kedalam levis sepaha begitu terlihat indah dipakainya, dan lagi dengan gaya rambut diikat yang menyisakan satu dua helai menutupi pelipisnya.
“Yaaa Tuhaaaan. Indah sekaliiii.” Teriaknya dengan menarik nafas panjang, “Terima kasih tuhan.” Ucapnya dengan begitu Bahagia.
Dia hendak kembali melakukan perjalanan, kakinya melangkah dengan penuh hati-hati. Langkah demi langkah, batu demi batu. Namun, nasib buruk seolah berada satu langkah dibelakangnya. Dia terpeleset dan tak ada satu orangpun diatas bukit, tangannya bertahan pada dua buah batu besar di sebelah kanan dan kiri, kakinya tergelantung. dibawahnya adalah jurang yang dalam. Entah apakah mayatnya akan hancur ataukah utuh jika dia jatuh kebawah, itulah yang saat itu dipikirkannya. Dia menangis meneteskan air mata.
“Tuhan, aku mohon tolonglah aku.” Tangisnya memohon , tangannya tak kuat lagi menahan beban tubuhnya.
“Tolonggg,” dia berteriak, menatap kebawah, pandangannya tak lagi jernih , yakinnya saat itu adalah dia akan terjatuh, tapi tiba-tiba sebuah tangan pria menarik tangan putihnya, dia menahan dan berusaha menariknya tangannya keatas.
“Ayo cepat, bertahanlah, kau akan baik-baik saja, percayalah padaku.” Ucap seorang pria yang berusaha menarik Kina. Kina terus berusaha menarik tangan pria tersebut, hampir saja pegangannya terlepas, namun untungnya sang pria dengan sigap memegangnya kembali dengan erat, diapun berhasil naik keatas. Namun, tak lama setelah Kina berhasil keatas dia menutup mata tak sadarkan diri.
Sudah hampir tiga jam Kina pingsan, Bram bingung apa yang harus dilakukannya. Dia hanya bisa menunggu diluar tenda dan menghangatkan diri didekat api unggun yang dibuatnya.
“ehmmm,” suara erangan Kina terdengar ditelinga Bram. Bram hanya diam dan menoleh kearah tenda. Dia tak ingin mengganggu gadis itu, kina tersadar dan berusaha memulihkan pandangannya.
“terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku.” Suara yang membuat Bram mengalihkan pandangannya kebelakang. Dilihatnya gadis yang berhasil ditolongnya tiga jam yang lalu mengucapkan terima kasih padanya. Matanya seolah penuh dengan luka, entah apa yang alami Bram hingga seolah hanya kata dingin yang pantas digambarkan untuknya.
“jangan berlebihan, itu hanya kebetulan saja,” Bram berlalu meninggalkan Kina menuju tenda biru. Kebetulan hanya ada satu tenda, barang Kina terjatuh saat dia terpeleset di tebing tadi sore.
Malam begitu dingin. Angin menembus pori-pori tubuh Kina yang duduk di dekat api unggun buatan Bram, entah mungkin Bram tidur didalam tenda atau sedang apa, yang pasti Kina tak mendengarkan suara dan tak melihat Bram keluar dari tenda. Dingin yang mulanya sejuk kini seolah membuat tubuh Kina menggigil , wajahnya pucat. Entah apalagi ini, Kina bingung, mantel tebal diselimutkannya pada tubuh Kina dari belakang, seolah ingin acuh tak acuh namun Bram tak bisa.
Cahaya mentari menembus cela-cela jendela tenda biru dengan gadis yang masih tertidur pulas didalamnya. Sedangkan sang pria sedang mencari bahan untuk sarapan.
“Kau sudah bangun, makanlah,” ucap Bram setelah melihat Kina yang diam berdiri dibelakangnya.
Kina terdiam sejenak, diapun duduk untuk menyantap sarapannya. Semacam ubi bakar atau memang itulah namanya.
Setelah berkemas Bram dan Kina hendak turun dari gunung, diperjalanan turun hanya suara langkah kaki, selainnya mungkin kicauan burung dan binatang yang lainnya.
Tiba-tiba kina mendahului Bram dan berhenti didepannya , Bram sontak terkejut dan hampir saja bertambrakan dengan Kina. “Kina Almora,” Kina tersenyum memperlihatkan lesung dipipinya memperkenalkan dirinya kepada Bram dengan mengulurkan tangannya. “Lo, udah gila ya, kalo gue jatuh gimana?” Ucap Bram karena terkejut lalu memilih menghindari Kina.
Kina hanya diam selepas kejadian tersebut, dia berhenti sejenak dan duduk untuk mengistirahatkan kakinya yang mulai terasa berat. Diluruskan kakinya untuk melemaskan otot-otot yang Lelah akibat turun dari gunung yang cukup tinggi.
“Ambilah,” Bram mengulurkan minuman mineral dan duduk didekat Kina.
“Gue Bram Rajastra, panggil aja Bram.” Ucapnya sebelum meneguk air mineralnya.
“ehmm.” Jawab Kina singkat setelah menelan air.
“Lain kali hati-hati kalo muncak sendiri.” Ucap Bram yang langsung berdiri dan melanjutkan perjalanan. Kina pun berteriak, “Tungguin gue dong.” Dengan sedikit berlari.
Kali ini tak seperti sebelumnya, jika sebelumnya Bram hanya diam saja maka kali ini dia menjawab pertanyaan Kina walau dengan nada dingin.
“Bram kau kenapa muncak sendiri?” tanya kina penasaran.
“Aku sudah biasa muncak sendiri, sejak kau lupa,” ceplos Bram tak sadar bahwa orang yang diajaknya bicara adalah Kina.
“Apa, aku?” Kina tersentak melihat Bram dan mengerutkan dahinya.
“Heh, bukan apa-apa. Mak,-maksudku sejak temanku pergi.” Ucap Bram terbata-bata didepan kina, “Untung saja,” bantinnya.
“Hah, Dia, dia siapa, emang gimana ceritanya?” tanya Kina penasaran. Padahal baru pertama kali Kina bertemu dengan Bram, tapi ia merasa ini adalah pertemuan yang kesekian kalinya.
“Segitu pentingnya?.” Tanya Bram menatap tajam Kina meneruskan jalan menuruni gunung, tiba-tiba Bram berubah pikiran, “Jawabannya muncul kalo lo bisa jawab pertanyaan gue.” Ucap Bram menguji Kina.
“Oke. Pertanyaan apa, gue ini termasuk lulusan terbaik waktu SMA jadi gue yakin pasti gue bisa jawab pertanyaan lo,” ucapnya dengan percaya diri dan yakin. Namun, sayangnya tak semua pertanyaan dapat dijawab oleh orang yang pintar dan cerdas walaupun lulusan terbaik manapun.
“Dalam pelajaran biologi hubungan yang menguntungkan yang satu dan merugikan yang lain namanya apa?” tanya Bram.
“Parasitisme.” Jawab Kina dengan cepat.
“Lalu apa contohnya?” tanya Bram penasaran dengan jawaban Kina. Bram tau bahwa Kina dulu adalah seorang murid yang cerdas, tak heran dia dengan sigap menjawab pertanyaan itu tanpa berpikir.
“Benalu, karena benalu memunpang dan merugikan tumbuhan yang ditumpanginya,” Jawab Kina masih percaya diri.
“Ini pertanyaan terakhir, jika kau bisa menjawabnya aku akan menceritakan padamu mengenai Asmara Pendaki Gunung.” Ucap Bram pada kina yang membuatnya semakin penasaran siapa Bram sebenarnya. “Benalu apa yang paling menakutkan dalam kehidupan?” tanya Bram berjalan turun dengan melewati bebatuan secara perlahan dan berhati-hati, seketika membuat Kina terdiam seolah tersihir.
Bagaimana Kina akan menjawabnya sedangkan pemikiran semua orang tentu saja berbeda dalam hal ini. Kina bingung, diperjalanan kina terus saja memikirkan apa jawaban yang tepat untuk menyamai jawaban yang ada dipikiran Bram, perjalanan turun semakin dekat namun Kina belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Tak ada yang tau bahwa terkadang tuhan mempertemukan seseorang mungkin hanya untuk sementara, bahkan mungkin tak lebih dari dua puluh empat jam dan setelahnya semua seolah seperti bintang diatas langit yang menjadi kenangan dan mimpi untuk diraih.
Saat itu adalah pertemuan terakhir antara Bram dan Kina. Kina tak dapat menjawab pertanyaan terakhir dari Bram. Diapun pergi meninggalkan Kina, rasanya seperti melihat film horror yang hanya setengah durasi saja, kecewa bercampur dengan penasaran kini mengalir menyeruak dipikiran Kina.
Setelah pertemuan terakhir itu Kina selalu memikirkan Bram. tak hanya itu, dia juga terus mencari tau mengenai jawaban dari pertanyaan Bram saat menurun gunung. Hari demi hari, waktu demi waktu seolah menyiksa batin Kina, “sebenarnya siapa Bram? Aku seolah mengenalnya. Tapi dimana dan kapan.” Hanya itu yang ada dalam pikiran Kina. Sudah empat bulan semenjak pertemuan itu tapi Kina tak kunjung bertemu dengan Bram kembali.
Dunia bersandar pada waktu. Waktu menentukan segalanya, jika saat itu adalah pertemuan yang terakhir, maka akan ada lagi awal dari sebuah pertemuan. Karena, yang awal belum tentu menjadi yang terakhir dan yang terakhir sudah tentu menjadi awal. Ketika ada akhir maka pasti awal akan terjadi.
Saat jingga dikelopak mata, Kina memasuki perpustakaannya, jemarinya menyetuh buku yang seolah lama tak ia baca, ia bingung mau dimulai darimana membaca buku yang banyak itu, anehnya dia tak mengingat apapun tentang buku-buku itu. Diraihnya buku yang ada diatas rak kedua dengan menjijitkan kakinya, matanya memandang buku bersampul Gold dengan gambar bunga kering. Dia memutar, melihat setiap inci buku yang tak asing baginya, selembar kertas jatuh dari dalam buku. Diambilnya, ternyata itu adalah selembar kertas foto, matanya membulat seolah kaget bercampur bingung, ia bingung harus bertanya pada siapa mengenai foto tersebut. Namun, dibelakang foto tersebut tertoreh pena hitam “Waktu mempertemukanku denganmu, dibawah jingga senja, diatas indahnya gunung yang seolah dunia. Namun, memisahkan kita laksana arwana. Bahagia pernah memilikimu walau sementara, Bram Rajastra.” Matanya menitikkan air mata, ia bahkan tak bisa mengingat semuanya, namun foto tersebut dengan jelas menggambarkan bahwa Bram pernah begitu dekat dengannya.
Kina tak tau dimana keberadaan Bram. Namun, yang jelas ia selalu mencari Bram, pikirnya ialah mereka berdua sama-sama menyukai gunung, iapun menjelajahi beberapa gunung dengan harapan akan bertemu kembali dengan Bram, namun itu seolah hanya angan-angan bagi Kina.
Mentari menyeruak masuk kelopak mata, membiarkan retina mengekspos indahnya cahaya tak menyiksa, Kina memotretnya dari atas Gunung Kerinci, setelahnya Kina mempersiapkan diri menuruni gunung.
diatas banyak sekali pemuncak yang membawa pasangan mereka, berbeda dengan Kina yang hanya sendiri, seolah mengembara untu menemukan cerita cinta. Tak lama setelah Kina memandang sekelilingnya ia mengingat saatnya pulang dan melepas penat sejenak. Diperjalanan menuruni gunung Kina merasakan sesuatu yang tak enak. Namun, dia sudah pasti siap dengan setiap resiko yang ada ketika jauh sebelum menaiki gunung. Tak sangka feelingnya tak meleset, kakinya menginjak batu yang tak tepat dan membuatnya mengulangi kesalahan sama, namun bedanya ini hanya jatuh biasa, tiba-tiba ia melihat tangan yang diulurkan padanya, “Berdirilah.” Pria yang sudah pasti dikenalinya, matanya berkaca-kaca, Kina tau tuhan tak akan menghianatinya.
“Bram,” diraihnya tangan Bram dan berdiri lalu memeluknya dengan erat, sangat erat, seolah tak ingin lagi terpisah.
“Kau selalu ceroboh! Kau tau ini sudah kesekian kalinya kau terjatuh di perjalanan pulang,” bentak Bram kepada kina khawatir akan terjadi sesuatu padanya, Kina tak menyangka pria dingin yang ditemuinya lima bulan yang lalu meneteskan air mata, Kina pun kembali memeluknya, Bram mendekap Kina sangat erat. Kina mengingat kembali kata-kata yang baru saja Bram ucapkan, itu berarti memang benar Bram adalah masa lalu Kina. Namun, bagaimana bisa? Waktu tau mana yang tepat, terkadang menguntungkan, terkadang pula mengambil apa yang ia cintai.
“Waktu, bukankah itu jawabannya,” ucap Kina dalam pelukannya dengan isakan air mata, “Kau jahat Bram, kau tak mau memberihuku apapun, aku mencarimu, dari gunung satu ke yang lain. Apa kau sengaja melakukannya?” Gadis itu memukuli dada Pria yang begitu dicintainya sejak lima bulan lalu setelah pertemuan pertamanya.
“Kau tak pernah tau bagaimana waktu menyiksaku, bagaimana terlambatnya aku menolongmu saat itu, saat kau terjatuh dari gunung karena derasnya hujan, darahmu, hanya itu yang selalu menghantuiku. Aku terpaksa pergi meninggalkanmu, meninggalkan kebiasaan kita mendaki gunung bersama, saat itu waktu seoalah mengutukku. Aku kira setelah kejadian itu, amnesiamu membuatmu meninggalkan hobimu, tapi nyatanya keras kepalamu tak pernah hilang walau amnesia.” Ucap Bram dengan tersenyum dan menatap Kina yang duduk di sebelahnya.
“lalu?” tanya Kina.
“Lalu aku meninggalkanmu bukan karena kondisimu, melainkan karena waktu itu ibumu memintaku menjagamu hanya dari jauh, karena ia tak ingin aku menyiksa daya pengingatmu yang saat itu sangatlah lemah, hal itu berbahaya bagi memorimu, jika dipaksa kau akan terancam melupakan segalanya. Aku tak ingin melukaimu, itu sebabnya waktu membuatku mundur dari cintaku. Namun, waktu pula yang menyembuhkanmu, itu sebabnya aku begitu membenci waktu, karena dia aku hampir saja kehilanganmu, tapi kini aku berterima kasih pada waktu yang mempertemukan kembali kita berdua. Terkadang aku menganggap waktu adalah benalu, namun juga sebuah anugrah yang harus dimanfaatkan agar menguntungkan.” Terus Bram yang berujung dengan candaan.
“Ahhh,” Bram terkejut dengan teriakan Kina.
“Kau kenapa?” Bram panik melihat Kina kesakitan memegang kepalanya, mungkin Kina berusaha mengingat segalanya, namun ia justru membuat kondisinya memburuk. Bram membawa Kina kerumah sakit, raganya seolah mati melihat gadis yang begitu dicintainya berada dalam keadaan kritis. Air matanya menerobos keluar dari bola mata coklatnya, saat itu ia berjanji jika dia tak akan lagi menemui Kina saat Kina sadar nanti.
Sudah hampir tiga hari Kina tak sadarkan diri. Dokter memberitaunya bahwa Kina telah melewati masa kritis. Bram menemani Kina dalam ruangan dia memegang dan mencium punggung tangan Kina, air matanya menetes, seolah itu adalah air mata perpisahan antara dirinya dengan Kina. Tiba-tiba jemari lembut Kina bergerak perlahan, Brampun meletakkannya kembali dan memanggil suster untuk memeriksa dan menemani Kina. Saat Kina tersadar ia sama sekali tak mengingat apa yang terjadi, seluruh memorinya memang hilang, namun saat itu Bram telah memanggil Dinda, sahabat Kina.
Bram dengan berat hati meninggalkan Kina, tapi ini semua adalah demi kesembuhannya. Bram tau dalam hidupnya Kina adalah orang yang tak akan pernah bisa digantikan oleh orang lain. Bram pergi untuk mengambil beasiswanya ke Australia, sedangkan Kina meneruskan hidupnya dengan Dinda.
Waktu adalah benalu jika kita tak bisa mengejarnya, merugikan kita saat kita lalai terhadap-Nya, itu sebabnya jadikan waktu yang kau kejar, bukan kau yang dikejar waktu.
Komentar
Posting Komentar