CERBUNG MANTAN ZEUS

*KETUAKELASITUPAWANGKU*
Chapter. One #1
|| Tentang Mantan Zeus

"Molang Areh"

Sekotak blackforest yang Iva pegang tampak begitu menggiurkan dengan hiasan beberapa cherry di atasnya. Bibir tipis miliknya tak henti tersenyum, terlebih saat seseorang di hadapannya meniup lilin berbentuk angka 17 tersebut sampai padam. 

Iva menganggap ulang tahun ke tujuh belas itu adalah yang paling spesial. Itu seperti langkah awal menuju jalan hidup yang berbeda. Semuanya tak akan pernah sama, tantangan pun jelas akan lebih berat, untuk menguji seberapa mampu kita berjuang jadi lebih kuat. 

Untuk itu Iva menyiapkan ini semua. Kejutan istimewa untuk orang yang juga sama istimewanya. 

Untuknya, Arthur Adiyaksa.

"Happy Sweet Seventeen, sayang," ucap Iva. Jarinya mencolek krim kue tersebut dan berniat menempelkannya pada Arthur.

Namun ....

Iva dibuat terkejut dengan reaksi yang  diterimanya. Sangat berbanding jauh dengan apa yang dirinya bayangkan. Netranya menatap pergelangan tangannya yang kini tengah dicengkram oleh Arthur. 

"Ar ...?" 

"Ah sorry, muka gue lagi sensitif, Va. Sorry, ya," balas Arthur sambil melepaskan pegangan tangannya terhadap Iva.

Gadis itu mengangguk. Meskipun ada berbagai pertanyaan yang singgah di kepalanya, ia tetap tersenyum. Mengenyahkan segala pemikiran buruk yang mulai merasuki dan tetap percaya padanya.

Ia mengenal Arthur lebih dari siapapun. Sepuluh tahun, adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mengetahui seluk beluk kehidupan putera Adiyaksa itu. Sampai detik ini yang akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan.

Di saat tangannya hendak memotong kue, lagi-lagi tampak Arthur menahan gerakan Iva. Membuat perempuan itu mendongak, menatap iris kehijauan milik sang pacar.

"Gue ... mau ngomong sesuatu, serius," kata Arthur.

Jujur perasaan tak enak semakin menghantui Iva. Bagaimana Arthur menatapnya detik ini, sungguh terasa berbeda dari seorang Arthur yang biasa dirinya lihat. Iva akui hubungan keduanya kurang baik beberapa minggu kebelakang. Tapi Iva berniat memperbaikinya, salah satunya dengan merayakan hari spesial Arthur.

Ia menaruh kue tersebut di belakangnya. Bersiap mendengarkan apa yang akan Arthur katakan.

Cukup lama keheningan di antara keduanya. Iva tak tahu alasan apa yang membuat Arthur sangat berat untuk mengatakannya.

"Ar ... lo mau ngomong apa?" tanya Iva.

"Maaf ...."

Iva menaikan alisnya bingung. Kenapa Arthur meminta maaf? Sungguh, itu hanya membuat perasaanya semakin tak menentu. 

"Maaf? Untuk apa?"  tanyanya lagi.

"Ayo kita putus."

Jleb!

Bagai petir di siang bolong yang menyambar tiba-tiba, Iva terkejut bukan main. Ketakutannya akan kalimat itu sebagai jawaban dari pertanyaannya, kini benar-benar menjadi nyata. Iva merasa pasokan oksigennya menipis, membuat nafasnya tersenggal karena tak menyangka, Arthur akan berkata demikian.

Namun bodohnya, ia masih tertawa sumbang berusaha meyakinkan diri sendiri jika semua ini hanyalah mimpi. Bahkan mengguncang-guncangkan bahu Arthur, memintanya penjelasan kalau candaannya kali ini tidaklah lucu. 

"Lo gak mimpi, Iva dan gue serius minta kita putus!" kata Arthur dengan nada tinggi.

"Tapi kenapa?!"

Arthur menghela nafas. Menyaksikan Iva menangis di hadapannya cukup memberi pukulan kuat pada dirinya. Iva lebih dari sekedar pacar, tapi juga sosok sahabat.

"Dengar, lo cewek yang baik, yang cantik, Iva. Masih banyak cowok di luar sana yang lebih baik dari pada gue, yang bakal lebih sayang sama lo. Masa depan kita masih panja---"

"Jadi lo udah gak cinta sama gue?" potong Iva. 

Mata Iva memerah. Tangisannya tak berhenti, malah semakin deras. Di tambah dengan sikap Arthur yang malah diam. Seolah meng-iyakan pertanyaannya barusan. 

Hanya karena itukah?

Konyol!

Kenapa dia baru bosan sekarang?

"Jawab gue, Ar!" bentak Iva. Tangannya terkepal menahan emosi yang kian meluap. 

"Iva please don't be angry."

Iva menggeleng. "Gimana bisa lo ngelarang gue marah saat lo mutusin buat akhiri hubungan kita, Ar? Belum cukup? Masih kurang? Masih kurang kita kenal satu sama lain selama sepuluh tahun? Dan lo mau selesain ini semua karena lo udah gak ada perasaan sama gue? Gila, ya."

"Iva ... kita masih bisa jadi sahabat---"

"Sahabat? Setelah lo hancurin perasaan gue hari ini? Gak, makasih. Gue lebih milih buat benci lo seumur hidup Arthur!"

Selepas mengatakan demikian, Iva berlari menjauhi Arthur. Air matanya tumpah-ruah membasahi wajah tanpa permisi. Mengabaikan tatapan heran orang-orang yang dijumpai, Iva tetap pergi.

Mirisnya, ia tak menemukan Arthur mengejarnya. Jangankan menelponnya, memanggil namanya pun rasanya tidak. Secepat itukah Arthur move on? Tak tahukah seberapa hancurnya Iva detik ini? 

Sahabat ... rasanya baru kemarin ia mengaitkan jari kelingking miliknya dengan Arthur. Mengucap janji sederhana yang dilakukan sepasang anak kecil di usia tujuh tahun dengan sebutan sahabat. Sampai akhirnya mereka beranjak dewasa, dan rasa itu berubah jadi cinta. 

Mengubah sahabat menjadi cinta, terasa begitu mudah bagi Iva. Tapi ... untuk kembali mengganti cinta menjadi persahabatan, Iva sulit untuk mewujudkannya.

Bahkan saat badannya mulai basah kuyup akibat hujan yang tiba-tiba mengguyur bumi pun, Arthur masih tetap tak mencarinya. Di jalanan basah ini, Iva berjalan pelan sendiri. Membiarkan kedinginan menyelimuti, sekaligus menutupi air matanya yang tak ingin berhenti.

***

Riak air yang bergelombang sedikit mampu menetralisir kegundahan Iva. Jemarinya memainkan air bening tersebut sambil menikmati sensasi dingin pada kaki. Beruntung sekolahnya menyediakan fasilitas kolam renang. Tak heran, mengingat SMK Brawijaya termasuk sekolah kejuruan bergengsi di Jakarta. Tempat ini sepi, karena memang jarang digunakan. Meskipun begitu, Iva tak takut sama sekali.

Sengaja ia memilih ke sini setelah menyaksikan kehebohan di lapangan. Peduli apa dengan pelajaran di kelas nanti, Iva benar-benar kehilangan moodnya untuk sekedar duduk menyimak guru. 

Iva menatap pantulan wajahnya di air, meski tak begitu jelas karena gerakan air yang tak stabil, ia yakin jika matanya kini sembab karena lama menangis. 

"Lo liat 'kan, Ar? Miris banget hidup gue, cengeng lagi. Lo aja bisa move on cepet banget, lah gue? Gue gak bisa ...," racaunya dengan wajah tertunduk.

Tak ingin kembali menitikan air mata, Iva mengangkat wajahnya sekaligus mencoba menenangkan hatinya. Bayangan kilas balik antara ia dan sang mantan, terus berputar di kepala bak tayangan video. Ia bangkit berdiri, mengambil sepatu putihnya kemudian memakainya. Sebelum pada akhirnya memilih pergi.

Saat berjalan, tiba-tiba ia merasakan getaran handphone pada saku rok-nya. Ia pun mengambilnya, kemudian menemukan sebuah notif pesan chat dari Lily---sahabatnya.

Lilyput
Gue di kantin nih
Yakin gak laper?

Anda
Otw✅✅

Yah ... dunia tak hanya berputar padanya bukan. Tak peduli seterpuruk apapun keadaan dirinya, waktu akan tetap terus berjalan. 

"Lo banyak berubah, ya, Ar."

***

"Dari mana aja lo, Iva ...? Tau gak gue sampe misuh-misuh gegara lo ngilang kek ditelen bumi?" cerca Lily gemas. Padahal Iva baru saja menginjakan kakinya di kantin. Tapi cewek bernama lengkap Liqueena Syafikha ini sudah kelewat heboh sampai mengundang atensi orang-orang.

"Gue dari kolam renang, Lily," sahut Iva malas.

"Ngapain?"

"Nyebat."

"WHAT? LU NGERO--hmpt!"

Gini, nih resiko punya sahabat kelewat gemesin. Udah tau suaranya kayak toa mushola, mana nyebar aib pula. Untung Iva sigap membekap mulut lemesnya Lily.

Lagian mana mungkin Iva ngerokok kali.

"Gue bercanda, ih," tukas Iva.

Iva menjauhkan telapak tangannya dari depan bibir Lily. Demi apa tatapannya Lily berubah horor. Tau Suzanna? Nah, sebelas duabelaslah.

"Untung lo temen gue, kalo enggak udah gue slepet otaknya," omel Lily dengan wajah galak.

Karena demo di perut sudah sampai pada tahap kerasukan Reog, maka keduanya pun memilih untuk segera menyantap dua mangkok bakso yang sudah Lily pesan. Seperti biasa, bakso buatan mang Cecep selalu jadi primadonanya kantin SMK Brawijaya. Liat aja antriannya yang udah mirip kayak antrian minyak goreng. 

Namun sialnya, kantin sangatlah penuh kali ini. Mereka jadi bingung mau duduk di mana.

Saat itulah, pandangan Iva tertuju pada bangku di sudut kantin. Entahlah, saat melihatnya bibir Iva tiba-tiba tersenyum misterius. Iva mengambil bakso bagiannya yang masih dipegang Lily. Kemudian berjalan mendekat ke tempat yang ia tuju.

Awalnya Lily tak tahu Iva akan membawanya ke mana. Tetapi saat matanya menemukan sosok gadis yang akhir-akhir ini sangat familiar di ingatannya, Lily menelan salivanya dalam-dalam.

Ini mah alamat perang dunia ketiga.

"Halo, Zehra," sapa Iva sambil tersenyum.

Siswi yang dipanggil dengan nama Zehra itu lantas mendongak. Jelas raut wajahnya menyiratkan keterkejutan bukan main. Bahkan setelah mengetahui siapa sosok yang menyebut namanya itu, Zehra mulai gemetaran.

Kebetulan yang merugikan, Zehra duduk seorang diri.

"Boleh duduk di sini? Udah pada penuh soalnya," ucap Iva.

Dengan pelan Zehra menjawab, "iya boleh, kok, Iva."

"Thank's."

Iva dan Lily pun duduk di kursi kosong yang berada di sebrang meja Zehra. Mulai menuangkan saus beserta kecap untuk rasa baksonya. Lily melirik Iva. Raut wajahnya mungkin terlihat baik-baik saja. Tapi tangannya? Sungguh, Lily sampai takut kalau kepalan tangan itu berujung melayang ke arahnya. Walaupun itu mustahil Iva lakukan.

"Eh, cobain, deh, Ra pake saus makin enak, loh," kata Iva.

Sengaja, Iva tak menunggu persetujuan Zehra dengan langsung menuangkan saus pedas berwarna merah tersebut ke dalam mangkuk mie ayam Zehra. 

"Aku enggak suka ped---"

Terlambat untuk menahan Iva, karena saus itu telah memenuhi isi mangkuknya. Zehra hanya terdiam menyaksikannya, mencoba memasang wajah seolah baik-baik saja padahal tidak sama sekali.

"Ups! Yah ... kebanyakan, mau tuker? Punyaku belom dimakan, loh," tawar Iva ....

Pura-pura baik.

"Enggak papa, kok. Kamu makan aja," sahut Zehra.

Pelan tapi pasti, gadis itu mulai memakan mie ayam tersebut, menciptakan seringaian puas terbit di wajah Iva. Iva tahu Zehra itu kelewat baik, jelas saja mana mungkin dia mau memberikan makanan yang sudah disentuhnya untuk ditukar dengan makanan milik Iva. Sekalipun imbasnya ia harus kepedasan karena nekad meneruskannya. Lihat, bahkan baru suapan pertama ia sudah kewalahan dengan meneguk minumannya sampai tandas.

Dalam hati Iva bersorak bahagia. Sembari mengunyah suapan demi suapan bakso ke dalam mulutnya, Iva tak melepaskan pandangannya sedikit pun dari Zehra.  

Sementara Lily, ia benar-benar tak mau ikut campur dengan pokus menikmati makanannya sendiri. 

Tak berlangsung lama, Iva bangkit berdiri setelah menyudahi makan siangnya. 

"Sorry, ya, Ra gue bener-bener gak sengaja. Nih, gue traktir roti, deh biar pedesnya ilang," kata Iva sambil menaruh roti dengan varian rasa cokelat tersebut di atas meja. 

"Sekalian biar ada tenaga buat rebut pacar orang, lagi." 

Iva tersenyum sinis sebelum akhirnya benar-benar pergi. Menarik tangan Lily setelah dilihatnya gadis itu selesai dengan makanannya.

Meninggalkan Zehra, yang terdiam tanpa sedikit pun melawan.

***

"Kan ... gue bener. Mana mungkin lo baik-baikin 'tuh cewek kalo gak ada udang dibalik terasi." 

Lily terus berceloteh sepanjang koridor. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran Iva yang kadang kelewat ajaib. Iya Lily tahu sahabatnya ini sakit hati dengan sang mantan yang ternyata malah kepincut cewek dari kelas sebelah. Tapi bukan berarti dia membenarkan sikap Iva juga. Arthur yang berpaling, tapi Zehra yang kena imbasnya.

Lagian, Lily yakin kalo sifat Zehra berbeda dengan cewek kegatelan kayak di film-film. Title-nya murid teladan gitu.

"Harusnya lo ngerjain Arthur, bukan gebetannya."

Iva memutar bola matanya malas. "Udahlah, emang apa bedanya? Lagian, nih, ya dia harusnya sadar udah berhadapan sama siapa," jawabnya enteng.

Kan, Iva itu batu. Makanya Lily enggak mau ikut campur. Selain karena ini bukanlah urusannya, Lily sangat mengetahui bagaimana sifat Iva sebenarnya. Kelakuannya tadi hanyalah pelampiasan atas kekecewaannya saja. 

Tapi satu hal yang seharusnya Iva ingat. 

Karma itu ada.

"IVA AWAS!"

Iva yang terlalu pokus menoleh ke samping, telat menyadari saat sekumpulan anggota ekskul drumband lewat di hadapannya. Alhasil tanpa sempat menghindar, tubuhnya menabrak Febian. Cowok berbadan gemuk itu tengah membawa alat musik drumband berukuran besar, mengakibatkan Iva yang bobotnya jauh lebih mungil darinya terpental ke belakang.

Kalau di film romantis, sudah pasti akan ada sang pangeran tampan pentolan sekolah yang akan menahan tubuhnya dari belakang. Melakukan scene tatap menatap selama dua hari demi membuat para penontonnya menjerit histeris.

Tapi ....

Karena ini edisi karma, maka lain lagi ceritanya.

Berat badan Iva yang hanya 45 kilogram itu, sukses tepar di lantai setelah menghantam tubuh Febian. Beruntung bukan kepalanya yang duluan menyentuh ubin. Tapi sungguh, rasanya Iva mau nangis aja di tempat. Merasakan bokongnya mencium lantai paling dulu saja sudah membuatnya kesakitan, belum lagi di susul kepala yang ikut berdenyut. 

"Kok banyak bintang, ya? Pada muter pula," batinnya. 

Samar Iva melihat seseorang yang dikenalnya selain Lily. Tengah berdiri di samping badannya yang tumbang dengan tatapan ... tanpa prihatin? Mana ketawa lagi!

Fix, mulai detik ini Iva nggak percaya semua adegan di drama. Harapan jatuh dipeluk cogan, padahal nyatanya ditertawakan habis-habisan.

"Arjuna si4lan,"  batinnya sebelum pingsan.

TBC.

Hhe, sorry kalo garing:) typo bertebaran ...

Mulai minggu depan, update setiap Senin dan Jum'at, ya. Maaf kalo kelamaan, soalnya menyesuaikan waktu sama kesibukan di duta. Yang penting rutin ygy😁😂

#1 see u next chapter two... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanggapi Segalanya: Kelelahan, Ekspektasi, dan Pencarian Keseimbangan dalam Hidup Modern

Menyaksikan Kehilangan dalam Kebersamaan, Perjalanan Menuju Kebahagiaan yang Terpisah

Secercah Cinta di TOT UKM-F RISET 2024