Broken Home Not Bade

KISAH ANAK BROKEN HOME YANG DITINGGAL IBUNYA JADI TKW KE LUAR NEGERI

                                  ---

    Namaku Linda. Anak ketiga dari lima bersaudara. Dua saudara dari beda bapak dan satu saudara dari beda ibu. Ya, begitu lah kenyataan pahit yang harus aku terima karena pernikahan berkali-kali dari kedua orangtua kandungku.

Saat itu, aku masih kecil. Belum mengerti apa-apa. Jadi, mau tak mau menerima kenyataan bahwa Ayah dan Ibu bercerai lalu masing-masing menikah lagi.

Ibuku pergi bekerja menjadi TKW ke Arab Saudi. Meninggalkan aku bersama ayah tiri beserta anak-anaknya.  

Sejak perceraian Ayah dan Ibu, aku dibawa ke Tasikmalaya. Tempat dimana ibu beserta nenekku tinggal. Tak butuh waktu lama, Ibu menikah lagi dengan duda beranak dua. Anak dari ayah tiriku ikut tinggal bersama kami.

Setahun kemudian, Ibu memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Saat itu, pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di luar negeri adalah idaman perempuan di desa kami. Sebab, saat pulang ke Indonesia, mereka sudah bisa membangun rumah dan memperbaiki kehidupannya dari hasil bekerja di sana.

Karena kesulitan ekonomi, Ibu dengan terpaksa meninggalkan aku bersama ayah tiri dan juga kedua adik tiriku.

Usiaku baru 6 tahun saat ditinggal pergi oleh Ibu ke Arab Saudi. Usia yang seharusnya belum merasakan peliknya kehidupan, tapi, harus menelan pil pahit karena selalu disiksa oleh ayah tiri. 

Rumah nenekku tidak jauh dari rumah, akan tetapi, akan sangat lelah jika harus berjalan kaki ke sana hanya untuk meminta makan.

Sering aku menahan lapar, karena ulah ayah tiriku. Misalnya, pagi-pagi sebelum aku berangkat sekolah, Ayah terlihat sedang memasak lauk untuk makan siang. Lalu, siangnya, saat aku pulang ke rumah, sudah tidak ada lauk yang tersisa untukku. Yang diperhatikan oleh ayah tiriku hanyalah perut kedua anaknya. Padahal, Ibu sering sekali mengirim uang untuk kami. Aku tahu itu dari bibi.

Uang yang dikirim Ibu, dihabiskan oleh ayah tiriku. Bahkan, uang sekolahku sering terlambat dibayar dengan alasan tidak ada uang.

Kalau mengingat hal itu, sakit rasanya.

"Pak, nggak ada lauk sisa untuk Linda?" tanyaku pada ayah tiriku.

"Makan pake kecap aja. Nggak usah manja!" jawabnya ketus.

Aku yang masih kecil, hanya menurut apa katanya. Dengan nasi sisa yang hanya sedikit, aku menuangkan kecap dan mengaduknya. Lalu menyantapnya tanpa mengeluh.

Kadang aku bertanya dalam hati, "Rasanya makan opor ayam itu gimana, ya?"

Sebab, ayah tiriku tak pernah menyisakan sedikit pun lauk yang disantapnya bersama saudara tiriku.

Hanya piring kotor yang diberikannya padaku. Piring yang bumbu opornya masih menempel di sana. Aku hanya mampu mencium aromanya. Menebak-nebak, apakah rasanya pedas, asin, atau asam. 

*

    Suatu hari, Ibu menelepon dari Arab. Kebetulan, ada tetangga yang memiliki telepon rumah. Jadi, aku bisa berbicara pada Ibu meski lewat telepon saja. Saat itu, ayah tiri sedang tidak ada di rumah. 

"Assalamualaikum, Linda, anakku," kata Ibu lewat sambungan telepon. Saat itu, usiaku sudah 8 tahun.

"Wa'alaikumsalam, Ibu. Linda kangen sama Ibu," sahutku sambil berlinang air mata.

"Sabar ya, Nak. Nanti kalau kontrak Ibu sudah selesai, Ibu pasti pulang," kata Ibu dengan suara serak. Sepertinya Ibu juga sedang menahan tangisnya karena mendengar suaraku.

"Kapan, Bu? Linda udah kangen ...." Kali ini suaraku yang mulai serak.

"Kamu sekolah aja yang rajin ya, Nak. Supaya nggak memiliki nasib seperti Ibu. Oh ya, sepatu baru untuk Linda udah dibelikan sama Bapak, belum?" tanya Ibu.

Memang sepatuku sudah robek. Tapi, aku belum menerima sepatu baru dari ayah tiriku.

"Belum, Bu. Linda masih pake sepatu yang bolong," jawabku polos. Saat itu aku tidak bisa berbohong pada Ibu. Kenyataannya, sepatu yang bolong itu masih aku kenakan sampai saat ini.

"Jadi, bapakmu belum belikan sepatu baru untuk kamu?" 

"Iya, Bu."

"Masyaallah ... teganya Kang Harun!" 

"Jangan marahi bapak ya, Bu. Nanti Linda bisa dipukul karena sudah cerita begini ke Ibu," kataku seraya memohon.

"Iya, Nak. Nanti kasih tau Bibi Indah, supaya angkat telepon Ibu ya? Nanti malam Ibu telepon lagi. Kamu ke rumah nenekmu aja sekarang," ucap Ibu memberi perintah.

Aku menuruti ucapan Ibu. Setelah menutup telepon, aku berpamitan pada si pemilik telepon rumah, untuk pulang ke rumah.

"Bu, makasih ya. Teleponnya udahan," ucapku.

"Sama-sama, Neng Linda. Gimana, kapan ibumu akan pulang?"

"Belum tau, Bu. Linda pamit dulu ya, Bu."

"Yaudah, hati-hati ya, Neng," ucap si ibu tersebut.

**

    Tahun berganti tahun, Ibu belum juga kembali ke Indonesia. Aku yang dulu kecil, kini tumbuh semakin besar. Jangan tanya tentang sikap ayah tiriku, dia masih sama seperti pertama kali aku ditinggalkan oleh Ibu.

Usiaku 10 tahun. Aku mulai mengerti kalau aku dijadikan pembicaraan oleh saudara tiriku. Mereka bahkan mengatai aku dengan sebutan, 'anak yang terbuang'. Sedih memang, tapi, apa mau dikata? Nasib tinggal bersama orang-orang yang tidak sedarah denganku merupakan sebuah keterpaksaan.

Siang ini aku bermain ke rumah nenek. Niatnya, hanya sebentar. Tapi, karena aku bosan di rumah, aku putuskan untuk menginap. Toh, seperti biasa, aku tak pernah dihiraukan oleh ayah tiri dan anak-anaknya. 

"Neng, kenapa nggak pulang, atuh?" tanya nenekku.

"Males, Nek. Linda mau nginep aja di sini, lagian besok kan hari libur. Gapapa lah," jawabku.

"Oh gitu. Yaudah, yang penting bapakmu nggak marah aja nanti," ucap nenek padaku.

Keesokan harinya, saat hari masih pagi, aku segera pulang ke rumah. Karena aku tidak membawa baju saat menginap di rumah nenek, terpaksa aku pulang agak cepat. 

"Heh, dari mana aja, kamu? Kenapa nggak pulang kemarin?" Ayah tiriku sudah muncul di hadapan ketika aku hendak masuk ke rumah.

"Eh, itu, Pak. Linda main di rumah nenek, terus ketiduran," jawabku memberi alasan.

"Lain kali, kasih tau. Kalau kamu kenapa-kenapa, ibumu bisa marah-marah!" bentaknya.

"Maaf, Pak." Hanya itu yang keluar dari mulutku.

"Ya udah, mandi sana! Habis itu, cari kayu bakar. Lalu masak buat makan siang kita," titahnya. Aku mengangguk. 

Dari usia 9 tahun, aku sudah diajarkan memasak lauk untuk makan sehari-hari. Mencari kayu dan membakarnya sebagai wadah perapian. Saat teman-teman seusiaku sedang asyik bermain, tidak dengan diriku.

Selesai mandi, ayah tiriku sudah meletakkan daun ubi dan ikan asin. Ada dua butir telur ayam yang mungkin baru saja diambil dari kandang ayam.

"Ini kamu masak, ya! Daun ubinya diremas-remas aja, lalu cuci bersih. Bumbunya bawang merah diiris tipis. Kamu tumis aja bumbunya, lalu masukin daun ubi dan kasih air. Kalau ikan asin, kamu goreng aja. Telurnya juga digoreng, itu buat anak-anak saya. Jangan kamu makan!" 

Aku tak pernah mengeluh. Kujalani takdir yang sudah digariskan Tuhan untukku.

Kadang, aku memotong sedikit telur dadar yang sudah kumasak dan menyembunyikan di piring kecil. Supaya bisa aku makan saat mereka selesai makan.

Aku tak pernah makan bersama mereka. Aku harus mencuci piring kotor dan merapikan rumah supaya diperbolehkan makan.

Ini memang tak adil!

Rumah ini adalah rumah ibuku. Tapi, kenapa sepertinya aku yang menumpang di rumah ini?

*

    Tubuhku demam. Aku menggigil. Sedari pagi, aku belum makan. Alasan tidak diberinya makanan adalah karena aku tidak membereskan rumah. Padahal, aku sudah memberitahu adik tiriku --Syafa bahwa badanku sedang tidak enak. Tapi, ayahnya tidak peduli.

"Syafa, bisa panggilin Bibi Indah, nggak? Aku mau berobat, aku sakit," kataku pada Syafa.

"Panggil aja sendiri! Kamu kan punya kaki," sahutnya. Sama sekali tidak punya hati.

Aku menahan sakit dan berjalan ke rumah Bi Indah. Bukannya mendapatkan pertolongan, Bi Indah malah menyuruhku kembali pulang ke rumah. 

"Lebih baik kamu pulang. Bibi lagi ribut sama suami. Bisa-bisa dia tambah marah kalau Bibi anterin kamu ke puskesmas," ucap Bu Indah menolak permintaanku untuk mengantar berobat.

Aku berjalan sembari merasakan sakit kepala yang hebat. 

"Ya Allah, kapan Ibu pulang? Aku ingin ke dokter, tapi, nggak ada yang bisa anterin," ucapku sambil menangis.

Di jalan, aku bertemu Mang Ujang, sepupunya ibuku. Dia lah yang menjadi penyelamatku saat itu.

"Linda, kamu teh, kenapa, Neng? Kok wajahmu pucat begitu?" tanya Mang Ujang.

"Linda demam, Mang."

"Ya Allah, bapak kamu emangnya ke mana? Nggak bisa nganterin ke mantri?"

Aku menggelengkan kepala. Dengan sigap, Mang Ujang segera menyuruhku naik ke motornya dan mengantarkan aku ke puskesmas yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

Katanya, aku terkena gejala typus. 

Mang Ujang yang memberitahu nenek tentang keadaanku. Sore itu juga, aku diopname di puskesmas. 

Di dalam pikiranku saat itu hanyalah ingin bertemu dengan ibu. Ingin tinggal bersamanya. Ingin merasakan masakannya. Tanpa harus memasak sendiri -- yang jelas-jelas rasanya tidak enak -- seperti yang aku lakukan saat ini.

Ibu ... Linda kangen ibu!

The End💯

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menanggapi Segalanya: Kelelahan, Ekspektasi, dan Pencarian Keseimbangan dalam Hidup Modern

Menyaksikan Kehilangan dalam Kebersamaan, Perjalanan Menuju Kebahagiaan yang Terpisah

Secercah Cinta di TOT UKM-F RISET 2024